Agama Islam
Ahlusunnah wal jama’ah adalah aqidah yang hingga saat ini dianut oleh mayoritas ummat Islam dunia. Di Indonesia aqidah ahlusunnah wal jama’ah telah dikenal sejak periode awal masuknya Islam di Indonesia yang dipelopori oleh walisongo sebagai pejuang Islam ahlusunnah wal jama’ah di bumi Indonesia. Untuk berikutnya kalimat ahlussunnah waj jama’ah disederhanakan dengan sebutan Aswaja.
Sejauh berjalannya zaman, peranan ulama yang notabene sebagai penerus perjuangan walisongo di Indonesia, juga semakin luas. Bukan hanya pada wilayah – wilayah ritual ideologi saja akan tetapi telah merambah wilayah politik, sosial dan budaya. Peranan ulama di segala aspek saat ini ironisnya tanpa diimbangi oleh semakin berkembangnya aqidah aswaja yang telah ada sejak awal diperjuangkan oleh penyebar Islam di nusantara. Walaupun aqidah ini telah mengakar kuat di masyarakat, akan tetapi pengaruh ideologi-ideologi asing yang masuk ke Indonesia juga tak kalah gencar mempengaruhi pola fikir dan pola pemahaman keberagamaan di masyarakat. Akibatnya benturan – benturan sering terjadi perihal pengaplikasian bentuk ideologi baru tersebut.
Sering penyebaran ideologi asing itu tanpa memahami karakter sosiologi dan psikologi masyarakat yang sejak awal telah beraqidah aswaja. Sebagai efaluasi internal, aqidah asli muslim Indonesia ini, yang memiliki tipologi dinamis dan moderat, seharusnya bisa tampil selalu up to date. Akan tetapi karena aqidah Aswaja dipahami secara puritan dan konfensional oleh penganutnya, maka saat ini hanya identik dengan acara – acara ritual seperti tahlil, maulid, dan haul saja.
Aqidah aswaja yang begitu luas belum sampai pada pengaplikasiannya sebagai way of life. Wadah pengaplikasian metode – metode aqidah ini, masih sebatas pada kultur pesantren dan lembaga pendidikan. Padahal, jika kita kaji lebih jauh metode pengaplikasian ajarannya sangat layak jika dipraktekkan, bahkan dalam sebuah negara dan pemerintahan, mengingat bahwa aqidah ini telah teruji pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.
Belum diaplikasikannya atau tidak dilaksanakannya aqidah aswaja pada sebuah metode penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tidak lain adalah insan – insan aswaja yang masih berfikir bahwa aswaja adalah aqidah kelompok atau organisasinya saja, dan belum berfikir secara universal terhadap penerapan aqidah ini di masyarakat. Imbasnya pemahaman masyarakat terhadap aqidah ini masih, hanyalah sebatas semiotika kultural. Akhirnya aswaja dipahami hanya sebagai bagian dari kekayaan budaya dan sebagai “musium kultural” yang harus dilestarikan oleh penganutnya saja.
Mereka belum menyadari bahwa tanpa ada upaya syiar dan sikap kritis terhadap dinamika hidup, gerak pemikiran dan pencerahan rohani masyarakat, lambat laun aqidah ini akan semakin tergerus baik secara kualitas maupun kuantitas penganutnya.
Rata-rata penganut aqidah aswaja terlampau asyik dengan perilaku sufistik (pen: perilaku tasawuf begitu kental terasa pada pengetrapan aqidah aswaja) saja, tanpa melihat sisi progresif yang sesungguhnya telah tersedia pada penerapannya.
Tanpa disadari, aqidah aswaja saat ini telah berada dalam masa paling kritis, di tengah gencarnya ideologi kafir (pen: barat) yang agresif mendegradasi Islam, sebagai ideologi yang harus diperangi hingga ke akar – akarnya.
Selain itu penerapan azas tunggal Pancasila sebagai satu – satunya pilihan dalam menerapkan praktik penyelenggaraan negara di Indonesia semakin membuat aswaja sebagai bentuk aqidah yang telah ada bahkan sebelum Pancasila lahir seakan terlupakan.
Posisi Pancasila seakan telah menjadi bentuk “aqidah” baru dalam perilaku keagamaan ummat Islam. Bahkan segenap komponen aswaja sekalipun, saat ini telah larut dalam berbagai kepentingan sehingga ikut – ikutan mendukung ideologi Pancasila sebagai sarana peraihan tujuan bagi pribadi maupun kelompok organisasinya. Karena, pasal – pasalnya memang sangat mudah untuk di tarik ulur menurut kebutuhan.. Misalnya tentang Toleransi beragama dan menghormati kebebasan berpendapat versi Pancasila seringkali dijadikan sebuah “lorong tikus” bagi masuknya ideologi – ideologi sesat yang jelas tidak cocok dengan jiwa bangsa untuk memporak – porandakan tatanan yang sudah ada.
Maka dari itu hendaknya insan aswaja segera memiliki sikap protektif yang kuat dan intensif dalam mensikapi permasalahan ini. Salah satu cara sikap protektif adalah dimulai dari cara berfikir. Jangan pernah berfikir bahwa aswaja di Indonesia adalah milik golongan atau ormas tertentu, tapi pahamilah bahwa aswaja adalah aqidah bangsa Indonesia dalam beragama, sehingga mutlak harus diperjuangkan, sebagai aqidah Islam resmi bagi negara Republik Indonesia.
Jika Arab Saudi telah berani menggunakan ajaran wahabi sebagai aqidah resmi kenegaraan, dan Iran telah menggunakan syiah sebagai pokok ajaran dalam penyelenggaraan negara, maka bukan tidak mungkin aqidah aswaja bisa kita perjuangkan sebagai aqidah resmi dalam penyelenggaraan negara di negara Republik Indonesia.
Hal ini cukup beralasan karena Selain Indonesia adalah negara berpenduduk Islam ahlusunnah waljama’ah terbesar di dunia, lebih dari itu pendiri negara Republik Indonesia adalah mayoritas bermadzhabkan aswaja. Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia, mulai dari sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, peranan ulama, santri dan pesantren secara kelembagaan adalah tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia.
Kita tidak harus mengganti ideologi negara pancasila dengan ideologi aswaja, akan tetapi aswaja bisa di gunakan sebagai aqidah resmi satu – satunya dalam menjalankan ke Islaman di Indonesia. Sehingga dapat tercipta sebuah tatanan masyarakat serta pemerintahan yang menjujung tinggi aqidah ini, karena berkekuatan hukum yang resmi dan tetap, agar jelas barometer sikap yang bisa diambil bagi masuknya ideologi asing ke Indonesia.
Langkah awal dalam gerakan mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang berwawasan aswaja adalah dengan menyatukan semua komponennya sebelum kita berjuang untuk menyuarkan aqidah aswaja pada mereka yang belum mengerti tentang ideologi ini.
Cara – cara perjuangan yang santun dan mengedepankan dialog sebagai ciri khas aswaja dalam peraihan tujuan bisa diutamakan agar tujuan tersebut bisa tercapai. Namun cara – cara penekanan dengan melibatkan massa juga layak ditempuh dalam rangka memberikan pemahaman pada masyarakat, bahwa dalam wawasan aswaja mengutarakan pendapat secara langsung adalah sangat dibolehkan.
Gerakan rakyat berbasis massa pesantren adalah dimungkinkan dalam koridor gerakan moralis-progresif ahlusunnah waljama’ah dan santri-kampus (pen: mahasiswa ahlusunnah waljama’ah) adalah yang terdepan dalam gerakan yang progresif-moralis.
Penyatuan komponen haruslah di pelopori oleh sebuah organisasi terpercaya yang merupakan gabungan dari semua komponen ahlusunnah waljama’ah yang se-ide mengingat perjuangan ini adalah memerlukan proses panjang dan berkesinambungan. Maka di perlukan orang – orang yang tepat dan memiliki militansi tinggi untuk meraih tujuan tersebut. Selain sebagai “dapur strategi dan taktik, organisasi ini bertugas menginventarisir potensi – potensi insan ahlusunnah waljama’ah untuk bisa di fokuskan pada sasaran bidik yang tepat yaitu membentuk masyarakat dan pemerintahan yang berwawasan ahlusunnah waljama’ah dan menjadikan sebagai aqidah resmi agama Islam di Republik Indonesia.
Organisasi ahlusunnah waljama’ah ini selain melakukankan kontrol ideologi dan politik di harapkan juga memiliki kontrol sosial yang optimal dalam fungsinya sebagai mitra pemerintah tanpa mengesampingkan sikap kritis dalam memberikan masukan pada pemerintah.
Permasalahan di masyarakat seperti rakyat yang masih banyak hidup dalam kemiskinan, relatif rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia, patut diperjuangkan oleh organisasi ini, karena kemiskinan dan kebodohan adalah salah satu jalan masuk bagi ideologi – ideologi kufur untuk menyelewengkan aqidah ummat Islam
Rendahnya kesejahteraan buruh dan petani sehingga sering menjadi ladang subur bagi masuknya ideologi sosialis dan komunis,(pen: tanpa sadar gerakan – gerakan buruh memiliki peluang untuk dijadikan basis gerakan yang ke-kiri-kirian), pelanggaran hak asazi manusia khususnya ummat Islam, perlawanan terhadap tindak kekerasan dan eksploitasi perempuan juga anak – anak, kebebasan dan pendewasaan pers, penyelesaian konflik – konflik di masyarakat, ini juga merupakan upaya perjuangan organisasi.
Penanggulangan kemaksiatan, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pelurusan sejarah tentang peran pesantren pada perjuangan kemerdekaan, menangkis budaya – budaya kafir dan tradisi – tradisi sesat yang tidak sesuai dengan syariat Islam, penerapan efisiensi anggaran dalam kebijakan ekonomi pemerintah, dan menolak tegas segala bentuk liberalisasi baik politik, ekonomi, sosial, budaya serta ideologi, adalah merupakan sasaran bidik perjuangan yang di kuatkan oleh organisasi ini.
Di samping fokus terhadap sasaran – sasaran eksternal, sebagai pembenahan internal terhadap masyarakat ahlusunnah waljama’ah organisasi ini diharapkan pula bisa secara tegas memberikan masukan, arahan serta penekanan terhadap ulama – ulama agar tidak masuk keranah politik praktis sehingga ulama dapat berkiprah optimal untuk ummat tanpa adanya sekat – sekat politik yang sering mengkerdilkan dan memecah belah ummat Islam, ulama hendaknya mendidik ummat dengan menjadi contoh dan bukan hanya bisa memberi contoh bagi moralitas spiritual ummat Islam. Selain menghindarkan pesantren dari politisasi. agar pesantren sebagai benteng terakhir gerakan moral ummat bisa terjaga.
Sejauh berjalannya zaman, peranan ulama yang notabene sebagai penerus perjuangan walisongo di Indonesia, juga semakin luas. Bukan hanya pada wilayah – wilayah ritual ideologi saja akan tetapi telah merambah wilayah politik, sosial dan budaya. Peranan ulama di segala aspek saat ini ironisnya tanpa diimbangi oleh semakin berkembangnya aqidah aswaja yang telah ada sejak awal diperjuangkan oleh penyebar Islam di nusantara. Walaupun aqidah ini telah mengakar kuat di masyarakat, akan tetapi pengaruh ideologi-ideologi asing yang masuk ke Indonesia juga tak kalah gencar mempengaruhi pola fikir dan pola pemahaman keberagamaan di masyarakat. Akibatnya benturan – benturan sering terjadi perihal pengaplikasian bentuk ideologi baru tersebut.
Sering penyebaran ideologi asing itu tanpa memahami karakter sosiologi dan psikologi masyarakat yang sejak awal telah beraqidah aswaja. Sebagai efaluasi internal, aqidah asli muslim Indonesia ini, yang memiliki tipologi dinamis dan moderat, seharusnya bisa tampil selalu up to date. Akan tetapi karena aqidah Aswaja dipahami secara puritan dan konfensional oleh penganutnya, maka saat ini hanya identik dengan acara – acara ritual seperti tahlil, maulid, dan haul saja.
Aqidah aswaja yang begitu luas belum sampai pada pengaplikasiannya sebagai way of life. Wadah pengaplikasian metode – metode aqidah ini, masih sebatas pada kultur pesantren dan lembaga pendidikan. Padahal, jika kita kaji lebih jauh metode pengaplikasian ajarannya sangat layak jika dipraktekkan, bahkan dalam sebuah negara dan pemerintahan, mengingat bahwa aqidah ini telah teruji pada zaman Rasulullah Muhammad SAW.
Belum diaplikasikannya atau tidak dilaksanakannya aqidah aswaja pada sebuah metode penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tidak lain adalah insan – insan aswaja yang masih berfikir bahwa aswaja adalah aqidah kelompok atau organisasinya saja, dan belum berfikir secara universal terhadap penerapan aqidah ini di masyarakat. Imbasnya pemahaman masyarakat terhadap aqidah ini masih, hanyalah sebatas semiotika kultural. Akhirnya aswaja dipahami hanya sebagai bagian dari kekayaan budaya dan sebagai “musium kultural” yang harus dilestarikan oleh penganutnya saja.
Mereka belum menyadari bahwa tanpa ada upaya syiar dan sikap kritis terhadap dinamika hidup, gerak pemikiran dan pencerahan rohani masyarakat, lambat laun aqidah ini akan semakin tergerus baik secara kualitas maupun kuantitas penganutnya.
Rata-rata penganut aqidah aswaja terlampau asyik dengan perilaku sufistik (pen: perilaku tasawuf begitu kental terasa pada pengetrapan aqidah aswaja) saja, tanpa melihat sisi progresif yang sesungguhnya telah tersedia pada penerapannya.
Tanpa disadari, aqidah aswaja saat ini telah berada dalam masa paling kritis, di tengah gencarnya ideologi kafir (pen: barat) yang agresif mendegradasi Islam, sebagai ideologi yang harus diperangi hingga ke akar – akarnya.
Selain itu penerapan azas tunggal Pancasila sebagai satu – satunya pilihan dalam menerapkan praktik penyelenggaraan negara di Indonesia semakin membuat aswaja sebagai bentuk aqidah yang telah ada bahkan sebelum Pancasila lahir seakan terlupakan.
Posisi Pancasila seakan telah menjadi bentuk “aqidah” baru dalam perilaku keagamaan ummat Islam. Bahkan segenap komponen aswaja sekalipun, saat ini telah larut dalam berbagai kepentingan sehingga ikut – ikutan mendukung ideologi Pancasila sebagai sarana peraihan tujuan bagi pribadi maupun kelompok organisasinya. Karena, pasal – pasalnya memang sangat mudah untuk di tarik ulur menurut kebutuhan.. Misalnya tentang Toleransi beragama dan menghormati kebebasan berpendapat versi Pancasila seringkali dijadikan sebuah “lorong tikus” bagi masuknya ideologi – ideologi sesat yang jelas tidak cocok dengan jiwa bangsa untuk memporak – porandakan tatanan yang sudah ada.
Maka dari itu hendaknya insan aswaja segera memiliki sikap protektif yang kuat dan intensif dalam mensikapi permasalahan ini. Salah satu cara sikap protektif adalah dimulai dari cara berfikir. Jangan pernah berfikir bahwa aswaja di Indonesia adalah milik golongan atau ormas tertentu, tapi pahamilah bahwa aswaja adalah aqidah bangsa Indonesia dalam beragama, sehingga mutlak harus diperjuangkan, sebagai aqidah Islam resmi bagi negara Republik Indonesia.
Jika Arab Saudi telah berani menggunakan ajaran wahabi sebagai aqidah resmi kenegaraan, dan Iran telah menggunakan syiah sebagai pokok ajaran dalam penyelenggaraan negara, maka bukan tidak mungkin aqidah aswaja bisa kita perjuangkan sebagai aqidah resmi dalam penyelenggaraan negara di negara Republik Indonesia.
Hal ini cukup beralasan karena Selain Indonesia adalah negara berpenduduk Islam ahlusunnah waljama’ah terbesar di dunia, lebih dari itu pendiri negara Republik Indonesia adalah mayoritas bermadzhabkan aswaja. Sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia, mulai dari sebelum kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan, peranan ulama, santri dan pesantren secara kelembagaan adalah tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia.
Kita tidak harus mengganti ideologi negara pancasila dengan ideologi aswaja, akan tetapi aswaja bisa di gunakan sebagai aqidah resmi satu – satunya dalam menjalankan ke Islaman di Indonesia. Sehingga dapat tercipta sebuah tatanan masyarakat serta pemerintahan yang menjujung tinggi aqidah ini, karena berkekuatan hukum yang resmi dan tetap, agar jelas barometer sikap yang bisa diambil bagi masuknya ideologi asing ke Indonesia.
Langkah awal dalam gerakan mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang berwawasan aswaja adalah dengan menyatukan semua komponennya sebelum kita berjuang untuk menyuarkan aqidah aswaja pada mereka yang belum mengerti tentang ideologi ini.
Cara – cara perjuangan yang santun dan mengedepankan dialog sebagai ciri khas aswaja dalam peraihan tujuan bisa diutamakan agar tujuan tersebut bisa tercapai. Namun cara – cara penekanan dengan melibatkan massa juga layak ditempuh dalam rangka memberikan pemahaman pada masyarakat, bahwa dalam wawasan aswaja mengutarakan pendapat secara langsung adalah sangat dibolehkan.
Gerakan rakyat berbasis massa pesantren adalah dimungkinkan dalam koridor gerakan moralis-progresif ahlusunnah waljama’ah dan santri-kampus (pen: mahasiswa ahlusunnah waljama’ah) adalah yang terdepan dalam gerakan yang progresif-moralis.
Penyatuan komponen haruslah di pelopori oleh sebuah organisasi terpercaya yang merupakan gabungan dari semua komponen ahlusunnah waljama’ah yang se-ide mengingat perjuangan ini adalah memerlukan proses panjang dan berkesinambungan. Maka di perlukan orang – orang yang tepat dan memiliki militansi tinggi untuk meraih tujuan tersebut. Selain sebagai “dapur strategi dan taktik, organisasi ini bertugas menginventarisir potensi – potensi insan ahlusunnah waljama’ah untuk bisa di fokuskan pada sasaran bidik yang tepat yaitu membentuk masyarakat dan pemerintahan yang berwawasan ahlusunnah waljama’ah dan menjadikan sebagai aqidah resmi agama Islam di Republik Indonesia.
Organisasi ahlusunnah waljama’ah ini selain melakukankan kontrol ideologi dan politik di harapkan juga memiliki kontrol sosial yang optimal dalam fungsinya sebagai mitra pemerintah tanpa mengesampingkan sikap kritis dalam memberikan masukan pada pemerintah.
Permasalahan di masyarakat seperti rakyat yang masih banyak hidup dalam kemiskinan, relatif rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat kesehatan di Indonesia, patut diperjuangkan oleh organisasi ini, karena kemiskinan dan kebodohan adalah salah satu jalan masuk bagi ideologi – ideologi kufur untuk menyelewengkan aqidah ummat Islam
Rendahnya kesejahteraan buruh dan petani sehingga sering menjadi ladang subur bagi masuknya ideologi sosialis dan komunis,(pen: tanpa sadar gerakan – gerakan buruh memiliki peluang untuk dijadikan basis gerakan yang ke-kiri-kirian), pelanggaran hak asazi manusia khususnya ummat Islam, perlawanan terhadap tindak kekerasan dan eksploitasi perempuan juga anak – anak, kebebasan dan pendewasaan pers, penyelesaian konflik – konflik di masyarakat, ini juga merupakan upaya perjuangan organisasi.
Penanggulangan kemaksiatan, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pelurusan sejarah tentang peran pesantren pada perjuangan kemerdekaan, menangkis budaya – budaya kafir dan tradisi – tradisi sesat yang tidak sesuai dengan syariat Islam, penerapan efisiensi anggaran dalam kebijakan ekonomi pemerintah, dan menolak tegas segala bentuk liberalisasi baik politik, ekonomi, sosial, budaya serta ideologi, adalah merupakan sasaran bidik perjuangan yang di kuatkan oleh organisasi ini.
Di samping fokus terhadap sasaran – sasaran eksternal, sebagai pembenahan internal terhadap masyarakat ahlusunnah waljama’ah organisasi ini diharapkan pula bisa secara tegas memberikan masukan, arahan serta penekanan terhadap ulama – ulama agar tidak masuk keranah politik praktis sehingga ulama dapat berkiprah optimal untuk ummat tanpa adanya sekat – sekat politik yang sering mengkerdilkan dan memecah belah ummat Islam, ulama hendaknya mendidik ummat dengan menjadi contoh dan bukan hanya bisa memberi contoh bagi moralitas spiritual ummat Islam. Selain menghindarkan pesantren dari politisasi. agar pesantren sebagai benteng terakhir gerakan moral ummat bisa terjaga.
Sumber; http://pejuangislam.com/main.php?prm=berita&var=detail&id=63
1 komentar:
alhamdulillah....
temanku inshaf......
Posting Komentar